3. Pendidikan Akhlak
Berbicara pendidikan kita jumpai 3 aliran
pendidikan: Empirisme, nativisme dan konvergensi. Empirisme berpendapat
bahwa manusia lahir dalam keadaan seperti kertas kosong. Sementara
nativisme berpandangan bahwa manusia lahir dengan membawa bakat.
Perpaduan dari dua pandangan tersebut melahirkan aliran konvergensi.
Dalam pandangan Nabi Muhammad, manusia lahir dalam
keadaan suci maka kedua orang tualah yang menjadikan anak tersebut dapat
menjadi orang Nasrani atau orang Yahudi. Sabda nabi di atas menunjukkan
3 komponen yang terlibat langsung dalam kegiatan pendidikan akhlak:
Peserta didik, Pendidik dan lingkungan tempat proses pendidikan
dilakukan. Dua komponen yang terahir sangat berperan aktif dalam
memberikan pembentukan, pewarnaan dan penyempurnaan akhlaq manusia.
Dalam kesempatan lain nabi Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan
akhlaq.
Jadi inti dari pendidikan akhlaq adalah upaya secara
sadar untuk mengembangkan fitrah manusia untuk mencapai tingkat akhlak
yang sempurna, akhlaq yang agung dan mulia. Materi dan metode Pendidikan
akhlak dapat berdasarkan kepada kandungan dan pesan surah al-Fâtihah.
4. Perspektif Pendidikan Akhlak Berbasis Tauhîd
Di atas telah diuraikan kandungan surah al-Fâtihah
menurut para mufassir. Uraian di bawah ini mencoba menelaah kandungan
dan pesan surah al-Fâtihah dalam perspektif pendidikan akhlak berbasis
tauhîd. Ada tiga tahap dalam proses pendidikan akhlaq yang dapat digali
dari surah al-Fâtihah.
Pertama. Menanamkan Tauhîd melalui pemahaman dan
penghayatan tentang konsep Allâh, al-Rahmân, al-Rahîm, Rab al-Alamîn dan
Mâliki yaumi al-dîn dan meneladani sifat-sifat ketuhanan dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata. Upaya memahami
konsep-konsep dimaksud diarahkan untuk mengasah dan mengembangkan
potensi akal yang dibingkai dalam ranah tauhîd dan jauh dari syirk.
Penjelasan konsep nama-nama Allah di atas dijumpai pada surah-surah lain
dalam al-Qur’an.
Konsep nama Allâh dijelaskan oleh ayat 1-4 dalam
surah al-Ikhlâs . Surah ini menerangkan dengan jelas, tegas, singkat
dan padat empat sifat Allah yang tidak dimiliki oleh selainNya. Allah
adalah Esa, tunggal, berdiri sendiri dan tidak butuh bantuan lain. Allah
tempat bergantung semua makhluk. Manusia misalnya butuh air. Air adalah
ciptaan Allah. Siapa yang butuh air berarti ia bergantung kepada
penciptanya. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia tidak
berubah dan tidak dipengaruhi oleh perubahan. Manusia mengalami
perubahan, dari sperma menjadi darah, daging, bayi, remaja, dewasa
kemudian mati. Allah tidak ada yang menyamainya. Meskipun Allah
mendengar namun tidak sama dengan cara mendengarnya dengan manusia.
Dalam surah ini nama Allâh diperkenalkan yang pertama sebelum
nama-namaNya yang lain. Nama ini adalah nama Zat yang berhak dan wajib
diibadahi (dicintai, ditakuti dan diharapkan) oleh seluruh makhluk
ciptaanNya.
Kata “al-Rahmân” (Maha Pemurah) diperkenalkan oleh
surah al-Fâtihah setelah kata Allah. Ini artinya bahwa sifat Allah yang
menonjol dalam dirinya adalah kemurahan Allah yang tidak pilih kasih.
Rahmat Allah diberikan kepada semua makhluk. Allah memberi rizki kepada
yang beriman dan yang kafir, yang taat maupun yang durhaka. Penjelasan
tentang macam-macam anugerahNya kepada manusia dapat dibaca dalam surah
ke 55, surah al-Rahmân. Dengan memahami dan menghayati berbagai macam
kemurahan Allah yang sangat luas seseorang akan bersyukur kepadaNya.
Jadi sikap syukur adalah dampak dari penghayatan dan pengamalan kata
“al-Rahmân”.
Sikap syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk
beribadah hanya kepadaNya. Lisannya selalu mengucapkan tahmîd . Hatinya
selalu mencintai Allah karena merasakan banyaknya anugerah yang dia
terima. Ia takut akan siksa Allah di dunia maupun di akhirat akibat dosa
yang dilakukan. Ia selalu mengharap Kepada Allah agar amalnya diterima
dan mendapatkan ridhoNya. Badannya dan anggota tubuhnya digunakan untuk
ketaatan kepadaNya. Matanya digunakan untuk membaca al-Qur’an, akalnya
untuk berfikir keagungan Allah. Ia berupaya meneladani sifat kemurahan
Allah dengan sering memberi manfaat kepada orang lain. Memberi beasiswa
kepada yatim piatu. Memberi bantuan uang dan bahan pokok kepada fakir
miskin. Mengajari al-Qur;an kepada orang yang buta aksara al-Qur’an dll.
Kata “al-Rahîm” (Maha Penyayang) mengandung
pengertian bahwa Allah menyayangi hanya kepada orang yang beriman dan
taat. Ketaatan kepada Allah dengan menjalankan perintahnya seperti
salat dan infaq adalah sebuah perjuangan dan prestasi. Prestasi ini
layak dan berhak mendapat apresiasi dan pahala. Mukmin yang taat akan
disayang oleh Allah di dunia dan dimasukkan ke dalam surga kelak di
akhirat. Sebaliknya manusia yang kafir dan durhaka di dunia jauh dari
rahmatNya dekat dengan kemurkaanNya, di akhirat disiksa di dalam neraka.
Pemahaman dan penghayatan seperti ini mendorong seseorang untuk memilih
iman dan taat dari pada kufur dan maksiat. Pesan penting kata
“al-Rahîm” adalah menyayangi kepada orang-orang yang beriman dan taat.
Pesan ini diimplementasikan dalam perbuatan nyata sehari- hari seperti
mengucapkan salam kepada sesama muslim, menjawab salam dan sms,
mengucapkan selamat atas kesuksesan saudara seiman, silaturrahmi untuk
menjalin ukhuwwah, memberi hadiah kepada teman yang beriman atas
prestasi dan pengorbanannya, Memberikan apresiasi atas pekerjaan
seseorang. Memberikan hadiah kepada anak yang naik kelas. Mengucapkan
terima kasih dan pujian kepada istri atas jerih payahnya dalam membuat
hidangan dan merawat anak. Kerjasama dan gotong royong untuk membangun
masjid dan lembaga pendidikan dsb.
Ali al-Sâbûnî berpendapat bahwa kata “Rab
al-Âlamîn”mengandung maknan bahwa Allah adalah pemilik alam semesta,
pengatur dan penglola alam semesta. Sementara Rasyid Rida memaknai
al-rabb dengan tuan yang mengatur, memelihara dan mengurus budaknya.
Allah pencipta sekaligus pemilik matahari. Ia mengaturnya,
menerbitkannya dari timur pada pagi hari dan menenggalamkannya pada
malam hari untuk kebaikan bumi beserta isinya. Allah menurunkan air
hujan untuk kesuburan tanaman yang dibutuhkan. Alam semesta, bumi
beserta isinya diciptakan, diatur oleh Allah untuk manusia sebagai bekal
ibadah kepadaNya.
Pesan penting yang dapat diambil dari ayat di atas
adalah meneladani sifat-sifat rububiyahnya Allah swt. Implemetasi pesan
ayat adalah menempatkan seseorang sesuai dengan bakatnya, memberi tugas
kepada seseorang sesuai dengan kemampuannya. Meletakkan barang pada
tempatnya. Membuang sampah di ranjang sampah bukan sembarang tempat.
Meletakkan buku di rak buku bukan sembarang tempat. Memarkir mobil di
tempat parkir mobil bukan tempat parkir sepeda. Menempatkan mushaf
al-Qur’an di tempat yang tinggi dan mulia. Merawat barang supaya tidak
cepat rusak. Membersihkan lantai rumah, kamar mandi agar bersih dan
indah.
Kata “maliki yaumi al-dîn” mengandung makna yang merajai pada hari pembalasan.
Raja yang arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan selalu memperhatikan kemaslahatan orang banyak. Raja adalah pemimpin. Dalam memimpin ia menciptakan suasana aman dan kondusif serta menjauhkan umat dari syirik sebagaimana dilakukan oleh nabi Ibrahim as. Meneladani sifat-sifat maliki yaum al-dîn dapat diimplemetasikan dalam perbuatan nyata sbb: sebelum mengambil keputusan yang tepat seseorang bermusyawarah dengan orang yang ahli dibidangnya dan minta petunjuk kepada Allah, menyebarkan salam, menyebarkan perdamaian, melindungi nama baik orang, memberi makan orang yang membutuhkan, tidak menyalahgunakan wewewnang, tidak berlaku lalim, tidak korupsi, tidak mencuri dsb.
Raja yang arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan selalu memperhatikan kemaslahatan orang banyak. Raja adalah pemimpin. Dalam memimpin ia menciptakan suasana aman dan kondusif serta menjauhkan umat dari syirik sebagaimana dilakukan oleh nabi Ibrahim as. Meneladani sifat-sifat maliki yaum al-dîn dapat diimplemetasikan dalam perbuatan nyata sbb: sebelum mengambil keputusan yang tepat seseorang bermusyawarah dengan orang yang ahli dibidangnya dan minta petunjuk kepada Allah, menyebarkan salam, menyebarkan perdamaian, melindungi nama baik orang, memberi makan orang yang membutuhkan, tidak menyalahgunakan wewewnang, tidak berlaku lalim, tidak korupsi, tidak mencuri dsb.
Memahami, menghayati, meneladani nama-nama dan
sifat-sifat Allah di atas dan mengimplementasikan secara benar dan
komprehensif mengantarkan seseorang beriman kepada Allah dan hari akhir
dengan iman yang sempurna. Iman yang sempurna pasti akan menggerakkan
pelakunya untuk beribadah dan beramal salih dengan produktif dan penuh
keikhlasan.
Sahabat nabi berani mengambil resiko ikut hijrah, terjun ke medan perang dan tugas berdakwah adalah bukti bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Imannya telah menggerakkan mereka untuk berjuang dan berkorban. Oleh karena itu sangat tepat sekali bahwa ayat sesudah pengenalan nama dan sifat Allah adalah ayat pengakuan dan ikrar beribadah hanya kepada Allah.
Sahabat nabi berani mengambil resiko ikut hijrah, terjun ke medan perang dan tugas berdakwah adalah bukti bahwa mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Imannya telah menggerakkan mereka untuk berjuang dan berkorban. Oleh karena itu sangat tepat sekali bahwa ayat sesudah pengenalan nama dan sifat Allah adalah ayat pengakuan dan ikrar beribadah hanya kepada Allah.
Kedua, menumbuhkan kesadaran beribadah dengan penuh
keikhlasan, benar dan dilakukan secara istikomah dan terus menerus
seperti terkandung dalam ayat 5-6. Iman yang sempurna akan mengantarkan
pelakunya untuk beribadah dengan kesadaran dan keikhlasan. Ia
berkeyakinan bahwa dirinya sedang menghadap dan berdialog kepada Allah
dengan menyatakan “iyyâKana’budu wa iyyaKa nasta’î ” Ibadah punya arti
bentuk perbuatan ketaatan dan kepatuhan yang dilandasi mahabbah (cinta)
kepada Allah. khauf (takut siksa dan neraka) akibat meninggalkan
perintah Allah dan rajâ (mengharap) ridhaNya. Ibadah yang dilakukan
harus benar sesuai dengan tuntunan Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah).
Tuntunan ini melindungi dan menjaga orang yang beribadah dari kesalahan
dan perbuatan bid’ah. Penggunaan fi’il mudhari’ pada kata “na’budu”
menunjukkan bahwa kegiatan ibadah itu wajib dilakukan secara istikomah
(terus menerus). Penggunaan dhamir “na” yang berarti “kami” menunjukkan
pelaksanaan ibadah itu dilakukan dengan cara kolektif atau jama’i.
Ibadah yang dilakukan secara jama’i punya fungsi syiar dan suasana yang
kondusif dalam proses pendidikan.
Implementasi ibadah diwujudkan dalam perbuatan nyata
seperti salat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, infaq, salat malam,
baca al-Qur’an, zikir, tawakkal, sabar dalam melaksanakan kebenaran,
menjauhi kejahatan dan orang-orang yang jahat. Ibadah tersebut jika
dilakukan dengan benar, penuh kesadaran dan istikomah akan membangun
karakter yang agung seperti sikap disiplin, peduli kepada sesama,
memiliki jiwa besar dan tahan uji.
Menanamkan kesadaran beribadah dilakukan dengan keteladanan. Fungsi ibadah adalah meningkatkan rasa akan kehadiran Allah dalam kehidupan nyata sehari hari dan merasakan bahwa Allah sebagai tempat bergantung.
Menanamkan kesadaran beribadah dilakukan dengan keteladanan. Fungsi ibadah adalah meningkatkan rasa akan kehadiran Allah dalam kehidupan nyata sehari hari dan merasakan bahwa Allah sebagai tempat bergantung.
Ketiga, Menumbuhkan kesadaran berbuat yang benar dan
baik, bergaul dengan orang-orang yang benar dan baik, meninggalkan
perbuatan tercela dan orang-orang yang dimurkai, perbuatan yang salah
dan orang-orang yang tersesat. Sebagaimana terkandung dalam ayat 7.
Pergaulan dengan orang-orang yang benar dan baik seperti para nabi dan
orang-orang saleh akan mendorong seseorang untuk meneladani mereka.
Begitu sebaliknya. Pergaulan dengan orang yang jahat akan mendorong
seseorang berbuat kejahatan. Pemetaan perbuatan yang benar, perbuatan
yang dimurkai dan perbuatan yang salah harus diaajarkan dan dimiliki
oleh pendidik dan peserta didik. Tiga tahap itu akan melahirkan akhlaq
agung, luhur dan mulia.
Tiga tahap pendidikan akhlaq di atas sejalan dengan
konsep iman, Islam dan ikhsan. Tauhid dan iman ibarat akar pohon,
batangnya adalah ibadah dan islam. Buahnya adalah perbuatan baik dan
ikhsan.
Tiga tahap tersebut seirama dengan pendapat kalangan ahli Tasawwuf dengan istilah tahapan Takholli (membersihkan jiwa dari keterikatan dengan duniawi), tahalli(menghiasi diri dengan ibadah dan amal salih) dan tajalli (munculnya akhlaq yang agung/ikhsan).
Tiga tahap tersebut seirama dengan pendapat kalangan ahli Tasawwuf dengan istilah tahapan Takholli (membersihkan jiwa dari keterikatan dengan duniawi), tahalli(menghiasi diri dengan ibadah dan amal salih) dan tajalli (munculnya akhlaq yang agung/ikhsan).
Catatan Kaki ;
Tauhîd secara bahasa berarti menunggalkan sesuatu dan meniadakan
berbilang darinya. Secara istilah syar’i Tauhîd diartikan meniadakan
adanya penyerupaan pada Zat Allah, sifat-sifatNya dan perbuatannya,
meniadakan sekutu dari rububiyyah Allah dan ubudiyyahNya. Dari definisi
ini muncul 3 macam tauhîd : (1) Tauhîd zât, asmâ wa sifât artinya
meyakini dan beriman akan adanya zat Allah, nama-namaNya, sifat
sifatNya. (2) Tauhîd Rubûbiyyah artinya meyakini bahwa hanya Allah yang
menciptakan alam semesta, memberi rizki dan yang mengaturnya. (3) Tauhîd
ulûhiyyah artinya meyakini bahwa hanya Allahlah yang berhak dan wajib
diibadahi, dicintai, ditakuti dan diharapkan. Baca Abû Bakr Jâbir
al-Jazâirî, Aqîdah al-Mu’min (ttp:Dâr al-Fikr, tt), h.64, 66 dan 77.16. dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Qs. Al-Qalam: 4
dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Didin Hafidhuddin, Al-Qur’an dalam Arus Globalisasi dan Modernitas Mencari alternatif Pemikiran di Tengah Absurditas Modernisme (Banten: LPSI, 2004), h. 118-119.
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarî”ah wa al-Manhaj (Dimasq: Dậr al-Fikri, 1998), juz 1, h. 54.
5 http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisas
QS.1:2 . Allah berfirman:“ الحمد لله رب العالمين ” (“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”).
QS.1:5 . Allah berfirman:“ إياك نعبد و إياك نستعين” (“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”).
QS.1:1 . Allah berfirman: “بسم الله الرحمن الرحيم ” (“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”).
QS. 1: 5. Allah berfirman: “ما لك يوم الد ين “ (“ yang menguasai hari pembalasan”)
QS.1:6 . Allah berfirman: “اهدناالصراط المستقيم ” (“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”).
QS.1:6 Allah berfirman: “صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين” (“jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”).
Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Juz 1. h. 34-36.
Said Hawa, al-Asâs fî al-Tafsîr, al-mujallad al-Awwal (Qohirah: Dâr al-Salâm, 1999), jilid 1, h. 38.
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fi al-Aqîdah wa al-Syarî”ah wa al-Manhaj (Dimasq: Dậr al-Fikri, 1998), juz 1, h.
Heru SS, Mapping Strategi Sukses Hakiki (Sukoharjo: AD Media Sukoharjo, 2007), h. 11
Pendidikan “merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien”.Baca Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 3.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta:INIS, 1994), h. 14-15.
Qs. 112: 1-4. Artinya:(1). Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. (2). “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (3). “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,” (4). “dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr,(Bairût: Dâr al-Fikr, tt) jilid 1, hal. 19
Tahmîd artinya membaca الحمد لله (segala puji bagi Allah).
Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 19-20.
M.Amin aziz, the Power of Al-Fatihah (Jakarta: Pinbuk Preess, 2008), hal. 28-29.
Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 21.
M.Amin aziz, the Power of Al-Fatihah, hal. 51.
Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 19-20.
M.Amin aziz, the Power of Al-Fatihah (Jakarta: Pinbuk Preess, 2008), hal. 28-29.
Muhammad Alî al-Sâbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibnu Katsîr, jilid 1, hal. 21.
M.Amin aziz, the Power of Al-Fatihah, hal. 51.