KITA semua tahu bahwa Al-Fatihah adalah bacaan wajib dalam setiap
shalat. Paling tidak, 17 kali sehari kita membacanya. Apalagi di bulan
Ramadan. Jumlahnya pasti jauh lebih banyak, karena ada shalat tarawih
dan shalat-shalat sunat lainnya.
Yang umum diketahui, surat Al-Fatihah merupakan ”mahkota tuntunan
Ilahi”. Dia adalah umm al-kitab atau induk Alquran. Muhammad Abduh
mengurai lima pokok kandungan Alquran yang tersurat dalam Al-Fatihah,
yaitu: (1) tauhid; (2) janji dan ancaman; (3) ibadah yang menghidupkan
tauhid; (4) penjelasan tentang jalan kebahagiaan dan cara mencapainya di
dunia dan akhirat; dan (5) pemberitaan atau kisah tentang generasi
terdahulu.
Sebenarnya, kecuali umm al-kitab, banyak nama lain yang disandangkan
kepada Al-Fatihah, kira-kira ada 20 nama. Dari nama-nama itu dapat
diketahui betapa besar dampak yang dapat diperoleh para pembacanya,
sehingga datang anjuran agar doa ditutup dengan
alhamdulillahirabilalamin atau bahkan ditutup dengan surat al-Fatihah.
Bagi Prof Amin Aziz, Al-Fatihah adalah sebuah kedahsyatan, baik dari
segi lafadz maupun pesan dan rahasianya. Jadi, bagus kiranya bila kita
juga menyadari bahwa sesungguhnya Al-Fatihah sarat dengan pesan-pesan
kemanusiaan dan ketuhanan.
Pesan-pesan kemanusiaan terdapat pada pertengahan ayat kelima sampai
ayat ketujuh, sedangkan dimensi ketuhanan tertera pada ayat pertama
sampai keempat dan setengah ayat kelima. Pembagian dua dimensi ini
sejalan dengan bunyi hadis riwayat imam Muslim melalui Abu Hurairah yang
menyatakan bahwa Allah membagi surah Al-Fatihah: separuh untuk-diri-Nya
dan separuh untuk hamba-Nya.
Hadis tersebut, serta hadis Qudsi yang diriwayatkan Daruquthni dari
Abu Hurairah, juga menyatakan bahwa setiap ayat surat Al-Fatihah yang
dibaca dalam shalat segera disambut Allah. Bahwa bacaan Al-Fatihah
membuka sebuah dialog yang sangat dekat antara hamba dan Tuhannya, pada
hakikatnya menjustikasi firman-Nya dalam QS. al-Baqarah:186: ”Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka
sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa,
apabila dia berdoa kepada-Ku”.
Lihatlah, apabila seorang hamba menyatakan,
”alhamdulillahirabbilalamin”, Allah menjawab, ”...Hamba-Ku telah
memuji-Ku”. Ketika ia berkata, ”ar-rahman ar-rahim”, Allah menjawab,
”... Hamba-ku telah menyanjung-Ku.” Sewaktu ia mengucap ”maliki yaum
addin”, Allah menjawab, ”... hamba-Ku mengagungkan Aku.”
Lalu ia berkata ”iyyaka naíbudu waiyyaka nastaíin”, Allah menjawab,
”... ini antara-Ku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.”
Dan ketika ia akhirnya berkata, ”ihdina as shiratol mustaqim,
shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa
addhallin” (Tunjukilah kami jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat dan bukan jalan yang Engkau murkai dan
bukan pula jalan yang sesat), maka Allah pun menjawab, ”... ini untuk
hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.”
Satu Kesatuan
Dimensi kemanusiaan dan ketuhanan yang terdapat pada surat Al-Fatihah
tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat integral. Dimensi
ketuhanan menyadarkan kita bahwa Allah adalah penguasa segalanya yang
mampu memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Sementara, dimensi kemanusiaan diaktualisasikan dalam bentuk
penghambaan kita dengan selalu meminta kepada Allah hidayah agama atau
jalan yang lurus. Di sinilah terletak urgensi memahami bacaan Al-Fatihah
dalam shalat sebagai media dialog antara kita sebagai hamba dan Allah
sebagai Sang Pencipta.
Proses dialog demikian agaknya yang menjadi alasan Al-Fatihah
menjadi salah satu rukun shalat, sebagaimana disebutkan oleh beberapa
hadis. Membaca Al-Fatihah dengan penuh penghayatan, seraya memahami
makna setiap ”kalimat” yang sedang diucapkan, dengan cara berhenti pada
tiap-tiap ayat, kemudian merasakan ada jawaban (sambutan) dari Allah,
niscaya membuat mushollin (orang yang shalat) benar-benar makin dekat
kepada-Nya.
Di sinilah makna shalat sebagai mi’raj orang mu’min dan shalat
sebagai media untuk mengingat Allah (QS. Thaha:14). Perenungan dalam
membaca Al-Fatihah dimaksudkan agar tiap-tiap orang yang shalat dapat
menghayati proses dialog tersebut.
Artinya, kita memang ”menghadirkan” Sang Khalik. Pada saat yang sama,
kita mengenali jati diri sebagai abdullah (hamba Allah). Apa hasilnya?
Tiada lain tiada bukan adalah: ihsan; sebuah pesan kemanusiaan dan
ketuhanan tentang kebaikan yang selalu diperbuat dalam kehidupan
sehari-harinya; sebuah kehidupan yang jauh dari perilaku buruk. Kalau
begitu, maka benarlah firman Allah dalam surat Al-Ankabut:45: ”... dan
laksanakan shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan)
keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) lebih besar
keutamaannya (dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
Di sisi lain, kata shalat itu sendiri mempunyai pengertian dialog,
menyambung (wasilah) atau komunikasi antara Allah dan hamba-Nya,
sebagaimana ungkapan dalam bahasa Arab limadza sumiyati shalatu
shalatan? Liannaha washilatun bainar rabbi wal ‘abdi (Mengapa istilah
shalat disebut shalat, karena shalat merupakan wasilah (media,
penyambung) antara Allah dan hamba). (59)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar