Sabtu, 07 September 2013

Kemanusiaan Dalam Al Fatihah, Oleh KH Ali Mufidz, Mantan Gubernur Jawa Tengah

KITA semua tahu bahwa Al-Fatihah adalah bacaan wajib dalam setiap shalat. Paling tidak, 17 kali sehari kita membacanya. Apalagi di bulan Ramadan. Jumlahnya pasti jauh lebih banyak, karena ada shalat tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya.
Yang umum diketahui, surat Al-Fatihah merupakan ”mahkota tuntunan Ilahi”. Dia adalah umm al-kitab atau induk Alquran. Muhammad Abduh mengurai lima pokok kandungan Alquran yang tersurat dalam Al-Fatihah, yaitu: (1) tauhid; (2) janji dan ancaman; (3) ibadah yang menghidupkan tauhid; (4) penjelasan tentang jalan kebahagiaan dan cara mencapainya di dunia dan akhirat; dan (5) pemberitaan atau kisah tentang generasi terdahulu.
Sebenarnya, kecuali umm al-kitab, banyak nama lain yang disandangkan kepada Al-Fatihah, kira-kira ada 20 nama. Dari nama-nama itu dapat diketahui betapa besar dampak yang dapat diperoleh para pembacanya, sehingga datang anjuran agar doa ditutup dengan alhamdulillahirabilalamin atau bahkan ditutup dengan surat al-Fatihah.
Bagi Prof Amin Aziz, Al-Fatihah adalah sebuah kedahsyatan, baik dari segi lafadz maupun pesan dan rahasianya. Jadi, bagus kiranya bila kita juga menyadari bahwa sesungguhnya Al-Fatihah sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan dan  ketuhanan.
Pesan-pesan kemanusiaan terdapat pada pertengahan ayat kelima sampai ayat ketujuh, sedangkan dimensi ketuhanan tertera pada ayat pertama sampai keempat dan setengah ayat kelima. Pembagian dua dimensi ini sejalan dengan bunyi hadis riwayat imam Muslim melalui Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Allah membagi surah Al-Fatihah: separuh untuk-diri-Nya dan separuh untuk hamba-Nya.
Hadis tersebut, serta hadis Qudsi yang diriwayatkan Daruquthni dari Abu Hurairah, juga menyatakan bahwa setiap ayat surat Al-Fatihah yang dibaca dalam shalat segera disambut Allah. Bahwa bacaan Al-Fatihah membuka sebuah dialog yang sangat dekat antara hamba dan Tuhannya, pada hakikatnya menjustikasi firman-Nya dalam QS. al-Baqarah:186: ”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila dia berdoa kepada-Ku”.
Lihatlah, apabila seorang hamba menyatakan, ”alhamdulillahirabbilalamin”, Allah menjawab, ”...Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Ketika ia berkata, ”ar-rahman ar-rahim”, Allah menjawab, ”... Hamba-ku telah menyanjung-Ku.”  Sewaktu ia mengucap ”maliki yaum addin”, Allah menjawab, ”... hamba-Ku mengagungkan Aku.”
Lalu ia berkata ”iyyaka naíbudu waiyyaka nastaíin”, Allah menjawab, ”... ini antara-Ku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.”
Dan ketika ia akhirnya berkata, ”ihdina as shiratol mustaqim, shirathalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa addhallin” (Tunjukilah kami jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat dan bukan jalan yang Engkau murkai dan bukan pula jalan yang sesat), maka Allah pun menjawab, ”... ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.”
Satu Kesatuan
Dimensi kemanusiaan dan ketuhanan yang terdapat pada surat Al-Fatihah tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat integral. Dimensi ketuhanan menyadarkan kita bahwa Allah adalah penguasa segalanya yang mampu memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Sementara, dimensi kemanusiaan diaktualisasikan dalam bentuk penghambaan kita dengan selalu meminta kepada Allah hidayah agama atau jalan yang lurus. Di sinilah terletak urgensi memahami bacaan Al-Fatihah dalam shalat sebagai media dialog antara kita sebagai hamba dan Allah sebagai Sang Pencipta.
Proses dialog demikian agaknya yang menjadi  alasan Al-Fatihah menjadi salah satu rukun shalat, sebagaimana disebutkan oleh beberapa hadis. Membaca Al-Fatihah dengan penuh penghayatan, seraya memahami makna setiap ”kalimat” yang sedang diucapkan, dengan cara berhenti pada tiap-tiap ayat, kemudian  merasakan ada jawaban (sambutan) dari Allah, niscaya membuat mushollin (orang yang shalat) benar-benar makin dekat kepada-Nya.
Di sinilah makna shalat sebagai mi’raj orang mu’min dan shalat sebagai media untuk mengingat Allah (QS. Thaha:14). Perenungan dalam membaca Al-Fatihah dimaksudkan agar tiap-tiap orang yang shalat dapat menghayati proses dialog tersebut.
Artinya, kita memang ”menghadirkan” Sang Khalik. Pada saat yang sama, kita mengenali jati diri sebagai abdullah (hamba Allah). Apa hasilnya? Tiada lain tiada bukan adalah: ihsan; sebuah  pesan kemanusiaan dan ketuhanan tentang kebaikan yang selalu diperbuat dalam kehidupan sehari-harinya; sebuah kehidupan yang  jauh dari perilaku buruk. Kalau begitu, maka benarlah firman Allah dalam surat Al-Ankabut:45: ”... dan laksanakan shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (shalat) lebih besar keutamaannya (dari ibadah yang lain). Allah mengetahui  apa yang kamu kerjakan”.
Di sisi lain, kata shalat itu sendiri mempunyai pengertian dialog, menyambung (wasilah) atau komunikasi antara Allah dan hamba-Nya, sebagaimana ungkapan dalam bahasa Arab limadza sumiyati shalatu shalatan? Liannaha washilatun bainar rabbi wal ‘abdi (Mengapa istilah shalat disebut shalat, karena shalat merupakan wasilah  (media, penyambung) antara Allah dan hamba). (59)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar